Tag Archives: PT Metropolitan Land siap-siap bakal meluncurkan proyek baru yang bernama Metland Cibitung. Sesuai dengan namanya

**Metland Bangun Hunian Metland Cibitung


Setelah berganti wajah dengan sebutan Metland, PT Metropolitan Land siap-siap bakal meluncurkan proyek baru yang bernama Metland Cibitung. Sesuai dengan namanya, Metland akan membuat kawasan hunian seluas 150 hektar di bilangan Cibitung, Kabupaten Bekasi. Rencananya, proyek hunian ini akan Metland luncurkan di bulan Juni nanti.

Meski relatif masih lama, anak usaha dari PT Metropolitan Development ini sudah mempersiapkan proyek properti ini. “Kami sudah berhasil membebaskan lahan sekitar 120 hektar,” kata Nanda Widya, Presiden Direktur PT Metropolitan Land belum lama ini. Nanda berharap, proses pembebasan lahan bakal rampung saat proyek Metland Cibitung diluncurkan.

Metland, menurut Nanda, bakal membangun sekitar 10.000 unit rumah. Untuk tahap awal, Metland akan membangun tipe rumah yang menyasar kalangan menengah bawah. Sesudah itu baru dibangun rumah untuk segmen di atasnya. “Strategi ini kami terapkan supaya Metland Cibitung cepat terisi,” katanya.

Nanda yakin Metland Cibitung bakal mendapat respon bagus bagi para calon konsumen. Pasalnya, lokasi Metland Cibitung bakal dilewati jalur transportasi kereta api Jabodetabek. Selain itu, Metland berencana akan menambah fasilitas hunian di sana. Salah satunya adalah membangun pusat belanja skala kecil. “Kami juga berencana akan bangun mal kecil di Metland Cibitung,” pungkasnya. (Markus Sumartomdjon/KONTAN)

**Umur Psikologis dalam Pasar Properti
Delapan belas tahun lalu saya pernah membeli sepatu Bally di pabriknya di Swiss. Sebagai mahasiswa, harga 100 dollar AS tentu sangat mahal. Tetapi, terasa murah karena tertera kalimat jaminan seumur hidup: Life time warranty.

Namun, benarkah sepatu itu kuat dipakai selama-lamanya? Ternyata tidak. Dua tahun kemudian ia sudah rusak dan saya memilih membuangnya daripada mengklaim ke pabriknya.

Hari-hari ini kita juga menyaksikan persoalan psikologis yang sama dalam bidang properti. Selama ini orang asing di sini hanya mendapatkan hak pakai selama 25 tahun sehingga kurang menarik. Sementara itu, Malaysia dan Singapura berani memberikan hak 99 tahun, bahkan sampai 999 tahun.

Apa benar manusia dapat menikmati properti melebihi umur hidupnya? Tentu saja tidak.

Namun, sama seperti cara sepatu menawarkan life time warranty, di balik itu terdapat bahasa psikologis pasar yang perlu diadopsi para pembuat kebijakan yang tengah melakukan revisi Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Rumah oleh Orang Asing untuk menjaga keunggulan daya saing bangsa ini.

Pembelian psikologis
Keramaian yang diperbincangkan para pembuat kebijakan properti hari-hari ini tampaknya belum menyentuh aspek-aspek psikologis pasar.

Tentu saja peraturan dibuat untuk manusia, tetapi masih banyak belenggu hukum dan kebiasaan yang mengikat bangsa ini.

Selain terpola masa lalu, kita juga belum benar-benar berpikir tentang pentingnya membangun nasionalisme dalam kacamata keunggulan daya saing. Dalam kacamata itu kita perlu mencegah value migration ke luar negeri.

Data terbaru, misalnya, menyebutkan 30 persen total pasar properti Singapura senilai 30 miliar dollar Singapura dibeli asing, dan pembeli teratasnya adalah orang Indonesia.

Gejala serupa juga terjadi di Malaysia, yang sudah 20 tahun membuka pasar propertinya untuk orang asing, dan kini ribuan orang dari pesisir Sumatera dan Kalimantan telah membeli properti di negeri jiran itu.

Apakah orang-orang Malaysia dan Singapura timbal balik membeli properti di sini? Ternyata tidak.

Di Australia dan Selandia Baru, orang asing diberi visa khusus untuk tinggal menetap asalkan membeli properti. Maka krisis global yang terjadi tahun lalu cepat pulih di negeri domba itu dan devisa pun mengalir deras.

Kita tidak bisa mengatakan telah terjadi unfair trade (perdagangan tidak adil) saat orang kita belanja properti di luar negeri, tetapi tak banyak orang asing membeli properti kita.

Semua itu bisa jadi karena kesalahan kita sendiri. Kesadaran ini tampaknya ada di kepala Menteri Perumahan Rakyat, dan wajib kita dukung.

Kita jarang berpikir bahwa setiap kebijakan yang diambil saat ini harus benar-benar memperhitungkan dampaknya bagi penciptaan keunggulan daya saing bangsa (national competitiveness). Dan, memahami psikologi pasar global penting untuk menjaga keunggulan dan rasa nasionalisme kita.

Kepercayaan dan kebiasaan
Berapa lamakah usia rata-rata manusia? Sebut saja 65 tahun hingga 90 tahun. Kalau seseorang membeli properti di usia 40 tahun, paling lama ia hanya bisa menikmati 25 tahun hingga 50 tahun.

Secara faktual, PP Nomor 41 Tahun 1996 sebenarnya sudah mengakomodasi usia biologis, yaitu hak pakai 25 tahun, dan dapat diperpanjang lagi 25 tahun. Namun, di balik itu sebenarnya terkandung beban psikologis yang memengaruhi cara berpikir pasar properti, yang dibentuk oleh kepercayaan dan kebiasaan.

Di negara-negara maju, properti dibeli melalui mortgage (hipotek) untuk tempat tinggal sebatas usia biologis. Begitu seseorang meninggal, properti dilelang. Pajak warisan sangat besar sehingga mereka jarang berpikir memberikan warisan.

Anak-anak yatim disantuni negara, mulai dari sekolah sampai kebutuhan gizi dan kesehatannya. Sebaliknya, di Asia properti adalah produk investasi yang penting untuk keamanan ekonomi keluarga. Jadi, di balik setiap pembelian properti terdapat beban psikologis.

Selain itu, rasa percaya terhadap masa depan negara juga memegang peranan penting. Misalnya, kewajiban untuk mengurus perpanjangan beberapa kali untuk negara transisi seperti Indonesia dapat dipandang sebagai suatu bentuk ketidakpastian.

Kalau pemasar sudah mengeluh, itu pertanda masih ada ketidakpercayaan terhadap birokrasi.

Sebaliknya, memberikan sekaligus hak dalam waktu yang lebih panjang dapat mencerminkan kemajuan terhadap kepercayaan.

Kegamangan pasar
Efek psikologis lain juga tampak dalam perbincangan yang berkembang di antara para pengembang dan pemasar (marketer) properti sepanjang bulan Maret ini.

Kalau hak pakai, yang diberikan untuk orang asing, statusnya lebih rendah daripada hak guna bangunan (HGB), apakah pantas properti hak pakai dijual lebih mahal daripada properti yang dibangun di atas tanah HGB? Pertanyaan seperti itu sebenarnya tak lain dari bentuk kegamangan pasar.

Kalau bangsa ini ingin mendapatkan keunggulan dalam persaingan global di sektor properti, sudah barang tentu kita harus bisa mengangkat beban psikologis yang ada di pundak konsumen dan para pemasar properti.

Banyak kesamaan visi yang masih harus dibangun antara pengusaha dan pemerintah, dan harus ada keterbukaan dalam memandang pasar.

Saya ingin mengajak Anda kembali ke soal life time warranty pada awal tulisan ini.

Ketakutan memberi umur psikologis yang lebih panjang pada pembeli asing dalam bidang properti, saya dengar sama besarnya dengan ketakutan eksekutif perusahaan sepatu dalam memberi jaminan life time warranty.

”Jangan-jangan…, ah bagaimana kalau semua orang mengembalikan sepatunya yang rusak?” Faktanya, hanya satu dua orang saja yang mengambil klaim.

Saya yakin orang-orang asing juga tidak bermaksud menguasai propertinya seumur hak pakai yang dimilikinya. Itu hanyalah keyakinan psikologis semata.

**Jalan Menuju Obyek Wisata Papandayan Rusak Parah
Jalan menuju obyek wisata Gunung Papandayan dari Kecamatan Cisurupan, Kabupaten Garut, rusak parah. Jika tidak segera diperbaiki, buruknya akses jalan itu dikhawatirkan membuat banyak wisatawan enggan berkunjung ke Papandayan.

Kerusakan jalan itu ironis karena Papandayan selama ini menjadi obyek wisata favorit di Garut, terutama di kalangan wisatawan asing. Data 2008 menunjukkan, dari total 49.277 wisatawan yang berkunjung ke Papandayan, 1.853 orang di antaranya wisatawan mancanegara.

Sesuai pengamatan pada Sabtu (27/3), jalan aspal menuju lahan parkir Papandayan berlubang di sana-sini. Kedalaman lubang ada yang mencapai 10 cm. Kondisi ini merata dari Alun-alun Cisurupan hingga mendekati gerbang masuk obyek wisata.

Di beberapa titik, endapan lumpur akibat hujan telah menutupi badan jalan. Drainase di sepanjang jalan itu nyaris tidak berfungsi. Bahkan, di beberapa tempat, badan jalan terlihat tanpa drainase. Saluran air di tepi jalan rata dengan permukaan jalan karena tertutup endapan lumpur.

Atikah, warga Kampung Jalan Bener, Desa Karamatwangi, Kecamatan Cisurupan, mengatakan, tiap kali hujan, air meluber ke jalan. Air ini kerap membanjiri rumah warga di pinggir jalan. “Kalau hujan, jalan ibarat sungai. Di jalan, air mengalir deras dari atas. Rumah saya sering kemasukan air,” tuturnya.

Menurut Atikah, meski banyak rumah warga kebanjiran, masyarakat belum tergerak membersihkan drainase. “Harusnya pemerintah yang menggerakkan masyarakat agar mau gotong royong,” ujarnya.

Problem kewenangan
Buruknya kondisi jalan ini juga dikeluhkan seorang pengunjung dari Jakarta, Yudi, yang hendak berwisata ke Papandayan, Sabtu lalu. Menurut Yudi, pemerintah seharusnya bertanggung jawab terhadap kerusakan jalan ini.

Minimnya wisatawan juga mengancam nasib 37 pemandu wisata dan sembilan pemilik warung. Pemilik warung di Papandayan, Iis, menuturkan, sudah lama Papandayan sepi pengunjung. Ia menduga buruknya kondisi jalan menjadi penyebab.

Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Garut Yati Rohayati menjelaskan, pengelolaan Taman Wisata Alam Gunung Papandayan dipegang Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam. Infrastruktur menuju lokasi dalam kewenangan pemerintah daerah.

Yati menjelaskan, tahun ini pemerintah daerah berkomitmen memperbaiki semua akses masuk obyek wisata di Garut. Jalan menuju Papandayan, kata Yati, rencananya diperbaiki tahun ini meskipun belum seluruhnya.